Masyarakat semende muara enim, sepenggal cerita peradabannya.

Pesona wisata sumsel, masyarakat semende muara enim - masyarakat semende atau semendo adalah sebuah komunitas masyarakat yang memiliki peradaban bernilai tinggi yang mendiami wilayah dataran tinggi di kabupaten muara enim.

Masyarakat semende tersebar di beberapa kecamatan yang ada di wilayah administratif kabupaten muara enim meliputi kecamatan semende darat laut, semende darat tengah semende darat ulu dan beberapa kecamatan dan daerah yang berada di kawasan kabupaten lahat.


Peradaban di tengah-tengah masyarakat semende telah terjadi jauh sebelum penjajahan belanda datang menjajah indonesia, tepatnya, eksistensi masyarakat semende telah ada sejak kesultanan palembang darussalam. bahwa masyarakat semende sebagai bagian dari masyarakat melayu secara umum adalah masyarakat etnoreligius, bahwa agama adalah panutan dalam kehidupan sehari-hari masyarakt ini, yang terlihat dan terintegrasi kedalam adat istiadat, seni dan budayanya. Masyarakat semende mayoritas beragama islam.

Salah satu sudut kota muara enim tempo dulu

 Sebuah catatan menarik, cerita singkat sejarah masyarakat semende yang sangat membanggakan tidak hanya bagi masyarakat muara enim, tapi bagi provinsi sumatera selatan bahwa masyarakat semende adalah komunitas masyarakat yang memegang teguh prinsip, berkarakter dan memiliki harga diri.
Ulama dan tokoh masyarakat adalah orang yang di tuakan, dan selalu diminta dan di dengar serta di patuhi setiap petuah dan perintahnya.

Baca juga:

Objek wisata murah berkualitas di Singapura. 

Daftar objek wisata dikota Bangkok. Thailand.

Berdasarkan arsip kuno, berupa kaghas ( tulisan yang menggunakan huruf ulu ) yang ditulis diatas kulit kayu, yang arsip berupa catatan ini di temukan di dusun penghapau semende darat, kabupaten muara enim. Yang diterjemahkan pada tahun 1974 oleh Drs Muhammad nur ( ahli purbakala pusat jakarta ) terdapat beberapa catatan sejarah mengenai masyarakat yang mendiami dataran tinggi muara enim yang bernama semende ini.

Jembatan di atas sungai enim di kota muara enim tempo dulu

Catatan yang termuat dalam arsip kuno tersebut menuliskan dan menggambarkan sebuah keadaan dan catatan sejarah tentang masyarakat ini yang berbunyi kurang lebih seperti ini:

" bahwa pada tahun 1072 H atau 1650 M di daerah dataran tinggi semende dan di dataran gunung dempo pagar alam sumatera selatan telah ada seorang ulama yang mendakwahkan islam bernama syech nurqodim al baharudin yang bergelar puyang awak "

Dari isi arsip sejarah kuno tersebut dapatlah di simpulkan bahwa semende telah memulai sejarah sebagai bagian dari kesultanan palembang darussalam dan memulai sejarah peradaban islamnya ketika itu juga.

Mengapa masyarakat semende adalah masyarakat etnoreligius? Sikap dan tingkah laku yang diterapkan ditengah masyarakat semende dalam kehidupan mereka sehari-hari sungguh sangat kental, pada masa lalu, orang-orang tua di semende teguh dalam memegang ajaran agama mereka, hingga ketika hari jum'at sebagai hari ibadah shalat jum'at bagi masyarakat islam, para kaum pria dan pemuda semende hampir tidak pernah ada yang berada di jalanan, di ladang ataupun di kedai-kedai kopi. Sebab bagi kaum pria yang mengabaikan hari jum'at ( tidak shalat jum'at ) secara otomatis akan mendapat sanksi moral. Tidak heran jika masyarakat semende hingga ke hari ini tetap menjaga tradisi mereka yang berpedoman kepada agama yang mereka anut.

Selain itu, masyarakat semende termasuk masyarakat yang makmur. Hasil bumi berupa pertanian mereka begitu melimpah, sehingga ketika musim haji tiba, masyarakat semende adalah masyarakat yang begitu antusias untuk berhaji, dan tradisi tersebut sudah ada sejak zaman dahulu.

Sikap ksatria dan prinsip para ulama dan masyarakat luas semende pada masa lalu sejatinya adalah sebuah hal yang paling membanggakan, sebuah buku yang mengisahkan tentang eksistensi masyarakat semende dalam rangka membelah tanah airnya, berdasar pada prinsip agama yang mereka anut bahwa penjajahan dan penindasan adalah hal yang tidak bisa diterapkan dalam kehidupan manusia, dan masyarakat semende dengan lantang menyerukan penolakan terhadap penjajahan.

Menurut buku jagad basemah libagh semende panjang, yang diterbitkan pustaka dzumirah karya KH Drs thoulun abdurrauf  dalam tulisannya, mengisahkan pandangan masyarakat semende terhadap kaum kapitalis dan imperialis.

Pemikiran dan pandangan masyarakat ini terhadap tingkah laku kaum imperialis dan kapitalis pada abad ke 14 hingga abad ke 17 bahwa orang - orang eropa telah merampok di laut dan di darat yang di istilahkan dalam bahasa melayu dengan kata " mengayau " yang berarti menga-aduk - aduk, atau meng-obok - obok dengan taktik yang lebih populer di sebut devide et impera (politik memecah belah).

Menyikapi tabiat kaum imperialis tersebut, masyarakat semende bersama - sama dengan masyarakat pagar alam atau basemah melakukan musyawarah dalam rangka membela harkat dan martabat bangsa dan tanah air mereka.

Hal menarik lainnya bahwa kerajaan nethrland yang oleh masyarakat semende di sebut dengan nama belanda yang dalam pengertian lokal berasal dari kata belah dan nda ( keluarga ) jadi belanda berarti tukang memecah belah keluarga.

Dari apa yang terjadi ketika itu dapatlah di simpulkan bahwa keberadaan, ketinggian peradaban dan eksistensi masyarakat semende hendaknya kita jadikan sebagai panutan sebagai generasi penerus yang senantiasa bangga kepada leluhur mereka, bukan sebaliknya generasi muda yang tumbuh kehilangan identitasnya.


Demikianlah artikel singkat mengenai sebuah masyarakat dengan peradaban mereka yang agung yang berada di dataran tinggi kabupaten muara enim. Semoga kita mendapat hikmah dan pengajaran dari apa yang telah di wariskan oleh leluhur kita.